Jumat, 22 April 2011

bukankah menyenangkan ketika mengkretek ditemani obrolan santai|

Sebenarnya apa sih definisi gaul dan jadul? Perkembangan jaman berhasil mencampur-adukkan keduanya kedalam satu bungkusan di otak pada setiap manusia. Tak jarang keduanya mampu membuat dikotomi yang mereka anggap jelas padahal definisi yang mereka angkat saling berkebalikan. Media lagi-lagi menjadi kambing hitam, media harus bertanggungjawab atas keberhasilannya menggiring opini masyarakat kita mengenai dikotomi gaul dan jadul.

Seperti hal nya dalam urusan merokok, gaul dan jadul sebenarnya memiliki fans-nya masing-masing. Dapat kita lihat bagaimana produk rokok berkemasan ‘gaul’ menyusup kedalam kehidupan sosial remaja Indonesia, entah apakah itu kretek maupun bukan, produk ini berhasil membangun pencitraan dirinya ke dalam citra konsumennya, atau mungkin sebaliknya, dimana produk ini sukses merangkum citra diri konsumennya dengan manifestasi berupa rokok. Kesan dinamis, modern, elegan dan up-to-date. Para pembuat iklan dan desainer kemasan patut bangga atas prestasinya membuat iklan produknya, visualisasi kesan yang ditimbulkan benar-benar membuat konsumennya terlarut dalam euforia ‘masa kini’, terlarut dalam suasana modernisme yang serba canggih. Dengan begitu, produk ini rasanya sangat pas ketika diletakkan bersandingan dengan smartphone atau notebook ketika penggunanya sedang surfing di kafe minimalis, bukankah itu sangat ‘barat’ ?

Untuk jenis kedua, masyakarat muda kita sering menggunakan kata ‘jadul’ dalam memberikan label pada produk kretek. Kretek, benar saja, ketika berhadapan dengan kata ‘kretek’ tidak susah menemukan jalan dalam kognisinya menuju pada ranah ‘jadul’. Yap, sesuatu yang kolot, sesuatu yang ketinggalan jaman, dan sesuatu yang nuwani (oldish). Eits, tapi tidak semua masyarakat muda kita mempunyai pandangan tunggal mengenai kata “jadul”. Banyak dari mereka menjadi penggemar kata ini, banyak dari mereka menginternalisasi kata ini ke dalam penampilan dan perilakunya sehari-hari. Mereka ini mempunyai pandangan bahwa ‘jadul’ itu adalah sesuatu yang harus dijaga, seperti halnya menjaga sesuatu beratribut ‘klasik’. Dapat kita lihat, ‘klasik’ tidak bisa mati.

Banyak sekali penjelasan untuk yang kedua ini, karena apa? Karena ini berurusan dengan sejarahnya sendiri yang panjang. Jika kita search google dengan keyword “sejarah kretek” terdapat sekitar 194,000 hasil, jumlah yang sangat banyak. Setelah saya lihat-lihat apa yang tertulis di sana, kesimpulannya adalah kretek mempunyai sejarah yang panjang! Haha . Kretek berkaitan erat dengan perjuangan para petani tembakau, kelas pekerja, estetika rasa dan semangat bangsa kita.

Bangsa kita adalah bangsa yang kolektif, mencintai kebersamaan. Masyarakat gotong royong, saling bersatu menghadapi tujuan yang sama. Dalam kutipan dari kompas, “Dalam beberapa hal, bersamaan dengan kopi tubruk, rokok kretek bahkan sempat menjadi alat atau simbol dan identitas pergerakan nasional melawan penjajahan”(Kompas, Senin, 5 April 2010)

Benar adanya jika, kretek adalah cerminan asli bangsa asli Indonesia. Cultural system dan nilai-nilai budaya kita benar-benar dilekatkan pada kretek. Semangat kebersamaan dan gotong royong, saling membangun satu sama lain. Sudah dikenal sejak lama, kretek sebagai media keakraban dalam lingkungan sosial, memperpendek diskrepansi status sosial dalam pergaulan masyarakat. Secara tak langsung kretek berhasil menjadi media untuk saling memahami satu sama lain.

Pada masyarakat Jogja saat ini, dikotomi Jogja Utara dan Jogja Selatan sepeti layaknya dikotomi gaul dan jadul. Jogja selatan dengan Kraton dan ISI sebagai pusatnya memang dikenal sebagai daerah orang-orang jadul, dengan ramainya komunitas pecinta seni budaya, dan tongkrongan santai yang ala kadarnya. Berkebalikan dengan utara, yang mempunyai image sebagai daerah ‘modern’. Kretek mempunyai peran disini, dimana para seniman di daerah jogja selatan adalah penikmatnya bersandingan dengan kopi atau the di angkringan-angkringan di Jogja selatan.

Memang seperti inilah adanya, rasanya sangat pas ketika menyandingkan bungkusan kretek (dengan kemasan vintagenya) bersebelahan dengan teh hangat atau kopi panas mengiringi obrolan santai orang-orang yang peduli akan jati diri bangsanya. Jadul sekali bukan? Ya, dan penulis memilih untuk menjadi jadul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar